BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
diciptakan oleh Allah SWT dalam struktur yang paling baik di antara makhluk
Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah atau
unsur fisiologis dan unsur psikologis. Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah
itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan
berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi.
Dalam pandangan
Islam kemampuan dasar/pembawaan itu disebut dengan “FITRAH” yang dalam
pengertian etimilogis mengandung arti “ kejadian “, oleh karena itu fitrah
berasal dari kata fatoro yang berarti “menjadikan”.
Allah
menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni
potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun
tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta
satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia
lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi.
Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya
untuk rnencapai fitrah tersebut.
Manusia
merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai
khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas
tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya.
Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.
Hal inilah yang
membedakan agama Islam dengan agama lainnya selain ajaran ketuhanannya, juga
perhatian terhadap hakikat kecenderungan pemikiran manusia. Islam sangat
positif thinking terhadap kecenderungan akhlak manusia terhadap kebenaran.
Sebaliknya, agama non-Islam sangat negatif thinking terhadap kecenderungan
akhlak manusia pada kebenaran. Dalam Islam (QS 30:30) disebutkan bahwa manusia
diciptakan berdasarkan fitrah Allah. Artinya, manusia pada hakikatnya
mengandung keyakinan akan kebenaran dalam ketuhanan dan berakhlak di antara
sesama manusia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan fitrah?
2.
Bagaimana konsep fitrah dalam psikologi agama?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
fitrah.
2.
Untuk mengetahui bagaimana konsep fitrah dalam
psikologi agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fitrah
Secara
etimologi, fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti “belahan”,
dan dari makna lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau “kejadian”. Ibnu
Abbas memahaminya dengan arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dari
pemahaman itu sehingga Ibnu Abbas menggunakan kata fitrah untuk penciptaan atau
kejadian sejak awal. Sehingga Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak
awal atau bawaan sejak lahir.[1]
Dalam al-Qur’an
kata ini antara lain berbicara dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi
pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah
manusia. Hal itu dapat dilihat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum:
30)
Kata “Fitrah
Allah” dalam ayat di atas, maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.Selain itu, kata “fitrah” dalam ayat
diatas mengandung banyak interpretasi, yaitu;
1) Fitrah
yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani.
2) Fitrah
yang berarti Islam (dienul Islam), maksudnya adalah agama Islam.
3) Fitrah yang
berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid), yaitu kecenderungan manusia untuk
meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
4) Fitrah yang
berarti murni (al-Ikhlas), yaitu keikhlasan dalam menjalankan sesuatu yang
menjadi salah satu sifat manusia.
5) Fitrah, yang
berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima
kebenaran.
6) Fitrah yang
berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah.
7) Fitrah yang
berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan
kesesatannya.
8) Fitrah
yang berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[2]
Sedangkan
menurut kesimpulan Muhammad bin Asyur tentang makna fitrah dalam surat Ar-Rum
tersebut, adalah; Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada
setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan
Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “fitrah” diartikan sebagai “sifat asal;
bakat; pembawaan; serta perasaan keagamaan”.[3] Di
samping itu, kata “fitrah” dapat diartikan juga dengan “naluri”, yaitu
“dorongan hati atau nafsu pembawaan yang menggerakkan untuk berbuat
sesuatu”. Jadi, fitrah adalah sifat, watak, bakat dan
perasaan kegamaan yang dibawa manusia sejak lahir. Sedangkan naluri adalah
kecenderungan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir yang menggerakkan manusia
untuk berbuat sesuatu, yang baik maupun yang buruk.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa fitrah menurut Islam sebagaimana dalam
al-Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 30 di atas, bahwasanya manusia dilahirkan membawa
naluri keimanan kepada Allah
dan kesiapan menerima Islam dalam penciptaannya.
Selain fitrah yang dibawa manusia sejak lahir adalah serangkaian naluri dan
kecenderungan yang tampak secara aktual, dan naluri yang dibawa oleh
manusia dalam bentuk kecenderungan yang mungkin akan berubah dari potensi
menuju kemampuan yang aktual pada waktu tertentu.
B. Macam- Macam Pandangan Tentang Fitrah Manusia
Menurut Yasien Muhammad, pemahaman
terhadap pandangan fitrah ini dapat dikelompokkan dan dibedakan menjadi empat,
yaitu: pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan
dualis.[4]
1. Pandangan Fatalis
Pandangan ini
mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau
jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau
sebagian sesuai dengan rencana Tuhan.
Syaikh Abdul Qodir
Jailani, tokoh populer pandangan ini, mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan
masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan Allah swt. Sebelumnya. Tokoh lain al-Azhari menyatakan
bahwa sifat dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib
seseorang untuk masuk surga atau neraka.dengan demikian tanpa memandang
faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu
terikat oleh kehendak Allah untuk
menjalani cetak biru (blue print) kehidupannya yang telah ditetapkan baginya
sebelumnya. Ibnu mubarok tokoh utama
pandangan fatalisme, menafsirkan salah satu hadis bahwa anak-anak orang musyrik
terlahir dalam keadaan kufur atau iman.[5]
2. Pandangan Netral
Pandangan ini dikomandani oleh Ibnu
‘Abd Al-Barr. Mereka mendasarkan pandangannya pada firman Allah swt.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” (QS An-Nahl :78).
Penganut
pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu
keadaan kosong sebagaimana adanya. Tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Mereka
lahir dalam keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari suatu esensi yang
baik atau yang jahat. Menurut pandangan ini, manusia dilahirkan dalam keadaan
bodoh dan tidak berdosa. Dia akan memeperoleh pengetahuan tentang yang benar
dan yang salah, tentang kebaikan dan kebenaran serta keburukan dan kejahatan,
dari lingkungan eksternal.
Menurut
pandangan ini, iman (kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud ketika anak
tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang
menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.[6]
3. Pandangan Positif
Menurut Ibnu
Taimiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam kebajikan
bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari
keadaan ini. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan
tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta
kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan
ajaran agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.
Ibnu Taimiyah
memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu ‘Abd Al-Barr dan menegaskan bahwa
fitrah bukan semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibangun dari luar,
tetapi merupakan sumber yang mampu memebangkitkan dirinya sendiri yang ada
dalam individu tersebut. Orang yang hanif bukanlah seseorang yang bereaksi
terhadap sumber-sumber bimbingan, tetapi seseorang yang secara alamiyah telah
terbimbing dan berupaya memantapkan dalam praktik secara sadar.
Tentang
keterkaitan antara fitrah dan dien islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
terdapat suatu kesesuaian alamiyah antara sifat dasar manusia dan dien islam.
Agama islam menyediakan kondisi ideal untuk memepertahankan dan mengembangkan
sifat-sifat bawaan manusia. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar
pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga
suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan agama secara tulus
sebagai seorang hanif sejati.
Selanjutnya,
apakah fitrah dapat rusak, ada perbedaan pendapat diantara penganut pandangan positif.
Pertama. Fitrah bisa rusak, Ali Ash-Shabuni dan Al-Faruqi berpendapat demikian,
Ali Ash-Shabuni mengungkapkan bahwa fitrah dapat rusak disebabkan masyarakat
memperlihatkan kesalahan, penderitaan, dan kekufuran kepada anak. Manusia
itulah yang merusak dan mengubah apa yang tercipta dalam keadaan indah dan
baik. Al-Faruqi berpendapat bahwa fitrah bisa rusak, karena adanya dorongan-dorongan yang jahat
atau hawa nafsu. Kedua, fitrah tidak bisa rusak. Muhammad Asad mengungkapkan
bahwa Allah tidak akan membiarkan suatu perubahan untuk merusak apa yang telah dia ciptakan. Mufti Muhammad
Syafi’i juga berpendapat demikian. Memurutnya, keadaan intrinsik fitrah tetap
sebagai suatu keadaan yang tidak berubah, sementara keadaan-keadaan ekstrinsik
yang bermacam-macam dari keimanan dan perilaku bisa berubah dan bersifat
dinamis.
4. Pandangan Dualis
Pandangan ini
berbeda dengan pandangan fatalis, netral dan positif. Menurut mereka penciptaan
manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur
pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah,
mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara
pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti tuhan dan kecenderungan untuk
tersesat. Selanjutnya Quthb berpendapat bahwa kebaikan yang ada pada diri
manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan
wahyu Tuhan sementara kejahatan yang
ada pada diri manusia dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan
kesesatan.
Shari’ati
berpandangan bahwa tanah simbol terendah
dari kehinaan digabungkan dengan ruh (dari) Allah. Dengan demiikan manusia
adalah makhluk berdimensi ganda dengan
sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi
juga berlawanan.
C.
Perbandingan Pandangan Psikologi Islam, Filsafat dan
Psikologi Modern
Adapun perbandingan pandangan psikologi islam dengan filsafat dan psikologi modern
tentang fitrah manusia adalah sebagai berikut:
1. Doktrin Kristen
Berbeda dengan pandangan
Psikologi Islam, menurut doktrin Kristen manusia terlahir dalam kedaan dosa dan
dalam suatu keadaan yang tidak suci.
2. Pandangan Psikoanalisis
Pandangan ini mengungkapkan bahwa
manusia lahir dalam keadaan cenderung untuk memenuhi dorongan hidup (eros) dan
dorongan mati (thanatos). Darongan hidup mewujud dalam bentuk
libido-seksualita, dan dorongan mati dalam bentuk bunuh diri dan agresi.
3. Pandangan Fisafat Empirisme dan Psikologi Perilaku
Pandangan ini mengacu dari teori
tabularasa, yaitu manusia lahir dalam keadaan netral, bagaikan kertas putih.
Manusia tidak memiliki bakat atau potensi yang bersifat melekat dalam dirinya
semenjak lahir untuk menjadi manusia yang baik atau buruk. Kebaikan dan
keburukan, kepandaian dan kebodohan, semata-mata terjadi karena faktor-faktor
yang bersifat eksternal.
4. Pandangan Filsafat Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik
Pandangan ini mempercayai bahwa
manusia memiliki potensi untuk mengatur kehidupannya sendiri. Karena kemampuan
potensialnya itu, manusia memiliki peluang untuk menjadi pengatur dan penentu
kehidupannya sendiri. Bahkan, manusia dapat menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri.
Dari keempat pandangan di atas dapat
dibandingkan bahwa
1.
Pandangan Islam dan Psikologi Islami bersifat
transcendental dan mempercayai sepenuhnya bahwa keberadaan manusia di ciptakan
Alloh. Hal ini berbeda dengan pandangan filsafat dan psikologi barat modern
yang tidak mencatat aspek penting bahwa kehadiran manusia diciptakan oleh Alloh
2.
Menurut Islam dan Psikologi Islami, manusia
diciptakan dengan tujuan dan misi khusus, yaitu beribadah kepada Alloh dan
menjadi khalifah di bumi. Berbeda dengan psikologi barat yang tidak memandang
tujuan dari penciptaan dan kehadiran manusia.
D. Potensi fitrah dalam psikologi Islam
1.
Potensi Fisik (Psychomotoric), merupakan potensi fisik manusia yang
dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan hidup.
2.
Potensi Mental Intelektual (IQ), merupakan potensi yang ada pada
otak manusia fungsinya : untuk merencanakan sesuatu untuk menghitung, dan
menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
3.
Potensi Mental Spritual Question (SP), merupakan potensi kecerdasan
yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan jiwa dan
keimanan dan akhlak manusia.
4.
Potensi Sosial Emosional, yaitu merupakan potensi yang ada pada
otak manusia fungsinya mengendalikan amarah, serta bertanggung jawab terhadap
sesuatu.
Kemampuan dasar
untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama Islam. Dengan
kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi, Nasrani, ataupun
Majusi. Namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan). Pendapat ini
diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu
Sina dan Ibnu Khaldun.
E.
Komponen-Komponen Psikologi Dalam Fitrah
Jika kita
perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah
memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” yang diangkat dari firman Allah dan
sabda Nabi bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang
dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya
terkandung berbagai komponen psikologi yang satu sama lain berkaitan dan saling
menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen potensial tersebut
adalah:
a) Kemampuan
dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana faktor iman merupakan
intinya beragama manusia. Muhammad ‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah Al-Maududi,
Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk
beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah.
Ali Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu
yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas
kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia
itu.
b) Mawahid
(bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada
keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen
psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin
merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi
semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof. DR. Mohammad Fadhil
Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama yang mendorong
manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berfikir dan merenungkan
ke arah iman yang benar.
c) Naluri dan
kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu
dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. DR. Hasan Langgulung, FITRAH itu
dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan manusia
atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang
Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi
potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi;
ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang itu kita
ibaratkan fitrah. Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi lain adalah
wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa
sifat-sifat Tuhan yang 99 macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang
masing-masing berdiri sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul
sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
d) Kemampuan
dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan
kemampuan manusia dapat dididik menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi,
namun tidak dapat dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti
oleh banyak ulama Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan
Ibnu Khaldun.
e) Dalam fitrah
tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan sebagai
kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepeda pengaruh eksternal,
termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban)
terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.
Pendapat ini dikembangkan oleh para
ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof muslim antara lain:
Al-Ghazaly.
Komponen komponen diatas menunjukan
aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu
aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar
perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar
untuk berkembang.
2.
Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh
(integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu
sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
3.
Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen
dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk
pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :
1.
Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada
perkembangan akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal
pada kemampuan Kognisi (daya cipta), Konasi (Kehendak) dan Emosi (rasa) yang
disebut dalam psikologi filosifis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
2.
Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau
bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini
merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini
termasuk kapabilitas yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan tanpa belajar.
3.
Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu
lawwamah yang mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain.
Nafsu ammarah yang mendorong kearah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi
orang lain. Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual untuk
memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu mutmainnah yang
mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali,
nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan
mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah
perbuatan rendah sebagaimana binatang.
4.
Karakter adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak
lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis
seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan
terbentuk dari pengaruh luar
5.
Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar
yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang
tua baik dalam garis yang terdekat maupun yang telah jauh.
6.
Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham
Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah
perbuatan dalam situasi khusus diluar kesadaran akal pikiran, namun mengandung
makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan
Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya.
F.
Dimensi Fitrah Manusia
Dimensi-dimensi
fitrah yang dimaksud di sini adalah aspek-aspek yang terdapat dalam fitrah
manusia. Dimensi fitrah menjadi tiga bagian, yaitu fitrah fisik yang disebut
dengan Fitrah Jismiah atau Jasadiah, fitrah psikis yang disebut Fitrah Ruhaniah
dan fitrah psikopisik yang disebut dengan Fitrah Natsaniah.[7]
Masing-masing fitrah ini memiliki natur, potensi, hukum, dan ciri-ciri sendiri.
Fitrah Jismiah
adalah citra penciptaan fisik manusia yang terdiri dari struktur organisme
fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik
makhluk-makhluk yang lain. Komponen fisik manusia hanya memiliki daya inderawi
yang empirik dan tidak memiliki daya batini, kecuali apabila indera tersebut
dihubungkan dengan ruh manusia. Apabila indera ini telah terhubungkan dengan
ruh manusia maka terjadilah apa yang disebut dengan Daya Nafsiah. Dengan daya
nafsiah ini maka semua komponen fisik tersebut akan mampu mencapai daya batini,
seperti melihat sesuatu lalu dipersepsi dan dihayati sehingga menimbulkan rasa
indah atau buruk, rasional dan irasional dan sebagainya.
Dimensi Fitrah
Ruhaniah adalah citra penciptaan manusia yang mempunyai komponen, potensi,
fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk
mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Fitrah Ruhaniah dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan zatnya
sendiri dan fitrah ruhaniah yang berhubungan dengan badan jasmani. Fitrah
ruhaniah yang pertama disebut dengan fitrah al-munazzalah, sedang fitrah yang
kedua disebut dengan fitrah gharizat, atau disebut dengan fitrah nafsaniah.
Fitrah al-munazzalah
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang
diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang
sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua
fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Fitrah
al-munazzalah adalah potensi ruhani yang diturunkan atau diberikan secara
langsung dari Allah kepada jiwa manusia. la tidak dapat berubah, sebab jika
potensi ini berubah, maka berubah pula eksistensi manusia. Fitrah al-munazzalah
ini merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada manusia.[8]
Selanjutnya,
fitrah al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak
lahir. Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Hal ini adalah
bagian fitrah ruhani yang berhubungan dengan fitrah jasadi. Fitrah al-gharizat
inilah yang disebut dengan fitrah nafsaniah yang merupakan dimensi fitrah yang
ketiga.
Fitrah
nafsaniah adalah merupakan citra penciptaan psikofisik manusia. Pada fitrah
inilah komponen jasad dan ruh bergabung. Fitrah nafsaniah ini secara inheren
telah ada sejak manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan dalam
kandungan. Fitrah nafsaniah ini merupakan citra kepribadian manusia, yang
aktualisasinya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia,
pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan dan sebagainya. Fitrah
nafsaniah ini memiliki potensi gharizah, yaitu potensi insting, tabiat,
perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat bawaan.
Fitrah
nafsaniah ini adalah merupakan alam yang tak terukur besarnya. la adalah
keseluruhan semesta, karena ia merupakan miniatur alam semesta. Segala apa yang
ada di alam semesta tercermin di dalam fitrah nafsaniah ini. Demikian juga, apa
saja yang terdapat dalam fitrah ini juga tergambar di alam semesta. Oleh karena
itu, barangsiapa yang menguasai jiwanya pasti menguasai alam semesta.
Dari penjelasan dimensi dimensi
fitrah tersebut di atas bashwa fitrah bersifat potensial dan perlu ada upaya –
upaya tertentu untuk mengaktualisasinya.
G.
Fitrah Jasmani Sebagai Stuktur Kepribadian
Islam.
Fitrah Jasmaniah sebagai struktur Kepribadian Islam. Menurut Mujib,
fitrah Jasmaniah merupakan aspek struktur kepribadian man usia. Aspek ini bukan
diciptakan untuk membentuk tingkah laku tersendiri, melainkan sebagai tempat
atau wadah bagi fitrah ruhani. Kedirian dan kesendirian fitrah jasmaniah tidak
akan mampu membentuk satu tingkah laku lahiriah, apalagi tingkah laku batiniah.
Fitrah jasmani memiliki daya atau energi yang
mengembangkan proses fisiknya. Energi ini lazim disebut dengan daya hidup. Daya
hidup ini walaupun sifatnya abstrak namun ia belum mampu menggerakkap suatu
tingkah laku. Suatu tingkah laku dapat terwujud apabila fitrah jasmani telah
ditempati fitrah ruhani. Oleh karena itu nature dari fitrah jasmani ini adalah
tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.
Dengan pemahaman seperti ini, maka sosok
manusia tidaklah dipandang sebatas sosok fisiknya saja. Bila konsepsi manusia
dipahami sebatas sosok fisiknya, maka pemahaman ini bukan hanya salah, tetapi
juga menyalahi konsepsi manusia yang hakiki. Manusia dalam konsep kepribadian
Islam ini adalah makhluk yang mulia, yang memiliki struktur kompleks, meliputi
fitrah jasmani, fitrah ruhani dan fitrah nafsani. Struktur fitrah ruhani lebih
dahulu ada daripada struktur fitrah jasmani. Kedua struktur tersebut merupakan
subtansi yang menyatu dalam struktur yang subtantif, yaitu struktur fitrah
nafsani.
Pemahaman ini sekaligus menjadi pertimbangan
bagi penganut aliran Behavioristik yang kurang memperhatikan ‘jiwa’ manusia.
Penelitian-penelitian aliran ini hanya memperhatikan aspek lahiriah atau
jasmaniah belaka. Mereka banyak melakukan eksperimen terhadap tingkah laku
binatang yang hasilnya digunakan untuk menentukan tingkah laku manusia. Teori
tentang tingkah laku binatang dan tingkah laku manusia bagi mereka sama, yang
artlnya manusia dan binatang adalah ‘sama’ .
H.
Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential
dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang bersifat pembawaan, intrinsik,
tidak jahat, dan cenderung baik
sementara dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang
memiliki daya positif. Inner potential ini, bila dikembangkan terus melalui
jalan tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan
pengembangan melalui berbagai perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan
berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah laku. dengan demikian, inner
potential sebagai potensi ruhaniah memiliki hubungan fungsional dengan tingkah
laku psikologis yang dimunculkan. Hal tersebut dibangun atas dasar sebuah
pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif dalam keadaan
sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan positif.
Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hamper tidak mungkin ntingkah
laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang
berbasiskebutuhan psikologis.
Manusia sebagai
objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya
dengan dimensi jasmaniah dan kejiwaan dalam tataran psikofisik, tetapi
pemaknaannya dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual dan
transendental. Konsep di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia
diciptakan dari dua unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur jasmaniah terdiri dari
materi, sedang unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan
transendental. karenanya, ada pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain
memiliki sifat sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan
(lahût)
Atas dasar
pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik dituntut
untuk menumbuh kembangkan potensi ruhaniyah melalui tahapan takhalli, tahalli,
dan tajalli hingga sampai pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari sisi
psikologi sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba
dan berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai rototipenya, sehingga timbul
kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidupyang
bermakna pemancaran sifat-sifat ilahi
dalam wujud akhlak insani merupakan perintah allah dalam al qur’an:
“berbuatlah baik sebagaimanaallah
berbuat baik kepadamu”.
Ayat tersebut mengajarkan kepada
kita bahwa tingkah laku manusia dengan sesamanya hendaknya dimanifstasikan
dalam bentuk menteladani sifat-sifat ilahi dalam kehidupan keseharian
sesuaidengan batas kemampuan kemanusiannya.[9]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial
meliputi ;
a.
al-Qalb
Menurut
Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani
(al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging
khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah
kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan
ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan
kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb
dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk
mengetahui hakikat sesuatu.
Lapisan Qalb
yang terluar disebut al-shadr yang merupakan tempat masuknya godaan penyakit,
unek- unek , syahwat, dan segala kebutuhan. al-Shadr itu bisa lapang dan bisa
sempit. Ia juga sekaligus munculnya cahaya Islam. Ia juga tempat menyimpan ilmu
yang bersumber dari pendengaran. Sifat-sifatnya adalah insyirah dan dlaiq ( QS.
3 : 154. QS: 11 : 12 QS: 15 : 97 QS: 26 : 12-13 ). Kadar kebodohan dan
kemarahan, dada seseorang menjadi sempit. Dan tidak ada batas kelapangannya. Jika
al-shadr sempit dengan kebenaran maka penuh dengan kebatilan.
Lapisan Qalb
yang kedua disebut al-qalb. Ia sebagai sumber cahaya keimanan, khusu’, taqwa,
ridla, yakin, khauf, raja`, sabar, qanaah. Al-qalb ibarat raja dan nafs adalah
kerajaan. Sifat-sifatnya a’ma ( QS. 22 :46 ) Lapisan Qalb yang ketiga adalah
al-Fuad yang merupakan tempat ma’rifat, bersitan (khawatir) dan penglihatan (
al-ru`yah ) Lapisan qalb yang keempat adalah al-lub yang merupakan tempat
cahaya tauhid.
Alqalb sebagai
inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi sebagai
pemandu bagi pengembangan semua tingkah laku, qalb yang berfunsi secara optimal
dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang indikasinya
dapat diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut (1) selamat dari
setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah, (2) selamat dari hal – hal yang yang
berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran, (3) selamat dari penghambaan selain
Allah , (4) bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah (5) memiliki sikap
kepribadian yang baik terhadap didri sendiri, (6) memiliki keseimbangan mental
dan (7) memiliki empati dan kepekaan social. [10]
b. al-Aql
Ada beberapa
pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima
pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu
yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia
tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan
kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat.Ketiga,
aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai
kondisi. Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan
memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[11]
Dengan demikian
orang yang berakal adalah orang yang didalam melalukan perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan didasarkan
pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat. Aql yang pertama dan kedua
merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga dan keempat merupakan usaha.
Di dalam
al-Qur`an, kata aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan di
dalam al-Qur`an adalah kata kerjanya yakni ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya.
Aqala ( fi’il Madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan
demikian al-A’qil (isim fail) berarti orang yang menahan atau mengikat hawa
nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan
orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar
tak terkendali.
Aql sebagai
inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam psikologi
sugistik memiliki 4 potensi (1) Potensi yang dapat membedakan citra manusia
dengan hewan, (2) potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang selanjutnya
diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan, (3) potensi yang dapat
menyerap pengalaman, dan (4) potensi dapat mengantarkan seseorang untuk
mengetahui akibat segala tindakan. [12]
c. al-Ruh
Para ulama
berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan
(al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus
bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji.
Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif.
Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak terpuji.
Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[13]
d. al-Nafs
Al-Nafs sebagai
inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai
subtansi badani yang berpotensi amoral, mengabaikan pertimbangan akal / hati
nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif.
Itulah sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs)[14]
Kedua sebagai
subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini mendapat
berbagai julukan sesuai dengan kondisinya. Jika al-Nafs dalam menghadapi
syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-Nafs dalam
menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung mengikutinya maka diberi
julukan al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs
al-Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari
akhlak yang tercela.[15]
Menurut
al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam
diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang positif
seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan
adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan
kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi agama dan kehormatannya.
Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun
ketika gadlab tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak
tercela.
Demikian juga
dengan syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan
antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan
terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari
rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada syahwat makan,
minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila
syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak
tercela
Fitrah manusia
sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya itu harus dikembangkan
agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan al-kamil). M. Natsir
menyebutkan bahwa pengembangan fitrah adalah salah satu tugas risalah yang
diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Setiap usaha
pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana, dan
sistematis. Secara eksplisit dapat dipahami dari firman Allah SWT di dalam
Al-Quran, yaitu :
a.
Allah SWT menghendaki demikian sebagaimana firman-Nya :
b.
“Sesungguhnya kamu akan meningkat maju setahap demi setahap.” (Q.S.
Al-Insyiqaq: 19)
c.
Sunatullah (hukum alam ciptaan Allah) juga menghendaki demikian.
Segala sesuatu di dalam alam berproses menurut hukum tertentu yang disebut
sunatullah. Sebagaimana firman Allah :
“Allah
yang telah menciptakan segala sesuatu lalu diproses-Nya ke arah sempurna.”
(Q.S. Al-A’la: 2)
Pengembangan
fitrah manusia harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang. Apabila
semua fitrah tersebut tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang maka
tidak akan tercapai manusia yang sempurna (insan al-kamil), bahkan dapat
mendatangkan kehancuran bagi manusia. Isyarat Al-Quran mengatakan bahwa :
1)
Manusia yang fitrah agamanya tidak dikembangkan, sehingga ia
menjadi kafir, maka ia adalah sejahat-jahat hewan melata.
Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya sejahat-jahat hewan
yang melata menurut Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka tidak mau
beriman.” (Q.S. Al-Anfal: 55)
2)
Manusia yang fitrah intelektualnya tidak dikembangkan, sehingga ia
menjadi bodoh, maka ia adalah lebih sesat dari hewan.
“Dan sesungguhnya telah Kami sediakan isi neraka itu kebanyakan dari jin
dan manusia, bagi mereka ada akal tetapi tidak dapat berpikir dengannya, dan
bagi mereka ada mata tetapi tidak dapat melihat dengannya dan baginya ada
telinga tetapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu adalah seperti
hewan, bahkan lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-A’raf: 179).
Walaupun
hidayah aql dan qalb merupakan hidayah yang dapat mengembangkan fitrah manusia,
namun apa yang dapat diperoleh aql dan qalb tersebut bersifat relatif, maka
dengan hidayah agama dapat diperoleh kebenaran yang mutlak dan hakiki.
BAB III
SIMPULAN
Secara etimologi, fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti
“belahan”, dan dari makna lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau
“kejadian”. Sehingga Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak awal atau
bawaan sejak lahir.
Seringkali terdapat perbedaan antara Psikologi Barat dan Islami mengenai
pandangannya terhadap fitrah manusia, akan tetapi dari beberapa hal dapat
diperoleh titik temu diantara keduanya. Pandangan fatalis mempercayai bahwa apa
yang terjadi pada manusia sudah sepenuhnya ditetapkan oleh Alloh, manusia tidak
memiliki pilihan kecuali memenuhi ketetapan Alloh. Ketetapan Alloh sudah
melekat secara inheren dalam diri manusia.
Dalam keadaan manusia secara alamiah buruk,
maka pandangan fatalis sesuai dengan teori psikoanalisa yang mempercayai sifat
asal manusia yang buruk. Bila manusia ditetapkan baik secara alamiah, maka
pandangan ini sesuai dengan pandangan psikologi humanistik.
Pandangan netral mempercayai bahwa apa yang
terjadi pada manusia bergantung pada faktor-faktor eksternal. Pandangan fitrah
yang bersifat netral mengungkapkan pandangan bahwa pada dasarnya manusia
dilahirkan kosong, bodoh, dan tidak beriman, sangat mirip dengan teori
psikologi behaviorisme (tabularasa).
Sementara pandangan positif mempercayai bahwa
manusia diciptakan dalam keadaan positif, cenderung kepada kebaikan, namun
faktor eksternal dapat mengubah hal positif itu. Pandangan ini adalah pandangan
khas psikologi Islami
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin. (2005) . Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. (2003). Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam. Jakarta: Rajawali Press - PT Raja Grafindo Persada,
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam.(2000)
Jakarta: Bumi Aksara
Hamka. Filsafat Ketuhanan.
(1985) Surabaya: Karunia
Quraish Shihab, M. (1996). Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan h.
Muhaimin, Abdul
Mujib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya
Poerwadarminta, W.J.S. (1976). Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Nashori, Fuad. (2005) Potensi-potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mujib, Abdul. (1999). Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta : Darul Falah
Zayadi, Ahmad. (2004). Manusia dan Pendidikan dalam persepektif Al-Quran. Bandun: PSPM
Hadziq, Abdullah. (2008). Kontribusi Psikologi sufistik terhadap pengembangan pendidikan
Multicultural, Jurnal ISJD
LIPI, Edisi 7 Vol. IV April
Priatna, Tedi. (2004), Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam,. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Saleh, Abdurrahman Abdullah. (1994). Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan AL Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nizar, Samsul. (2001). Pengantar
Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan
Islam. Jakarta: Media Pratama